Sistem religi
manusia diawali oleh konsep sederhana yaitu baik dan buruk. Manusia
mendikotomikan berbagai hal menjadi dua hal yaitu baik dan buruk. Salah satu
krusial adalah penetapan waktu. Penetapan waktu bila dibandingkan konsep
tersebut maka waktu baik adalah pada saat kondisi terang dan waktu buruk adalah
pada saat gelap. Baik dalam arti waktu tersebut dapat digunakan untuk
memperbaiki kualitas hidup manusia seperti mencari nafkah, memperbaiki rumah,
bertani beternak dan kegiatan lainnya yang menghasilkan. Buruk artinya adalah
pada saat tersebut manusia harus beristirahat, karena bila berakivitas akan
menimbulkan hal yang tak baik
Sistem
religi manusia berkembang seiring dengan permahamannya terhadap fenomena alam
yang terjadi disekitarnya. Fenomena – fenomena ala mini selanjutnya dimaknai
sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di alam semesta. Beranjak dari kondisi
inilah manusia menata dirinya. Penataan diri yang dimaksud adalah penyesuaian
seluruh aspek kehidupan manusia dengan fenomena – fenomena alam yang membentuk
suatu pola tertentu.
Pola
penataan diri manusia yang menyesuaikan antara kehidupannya dengan fenomena
alam ini selanjutnya dibakukan menjadi suatu bentuk tuntuan hidup manusia.
Bentuk tuntutan hidup yang pertama kali memadukan antara kehidupan manusia
dengan fenomena alam adalah sistem penanggalan. Sistem penanggalan pada
kebudayaan – kebudayaan kuna umumnya
menyebutkan tentang hari baik dan hari buruk. Artinya dalam satu masa
tertentu ada hal yang boleh dilakukan dan ada hal yang tidak boleh dilakukan.
Jadi pada sistem penanggalan kuna sebenarnya tidak ada hari baik atau buruk.
Penyebutan hari buruk tersebut adalah esensi dari keinginan manusia untuk
melalukan sesuatu kegiatan dari hari yang diinginkan namun tidak didukung oleh
fenomena alam yang akan membantu kesuksesan pencapaian keinginan tersebut.
Sistem penanggalan kuna seperti yang dimaksud di
atas juga ditemukan di Bali. Sistem penanggalan yang dimaksud adalah wariga. Penerapan wariga di Bali sangat luat hingga mencapai seluruh aspek kehidupan
manusia. Mulai dari proses reproduksi, kelahiran, kehidupan, pernikahan hingga
kematian. Berbagai aktivitas keseharian hingga upacara keagamaan dilaksanakan
berdasarkan perhitungan wariga
Perkembangan
kehidupan manusia yang semakin mengedepankan aspek logika dan besarnya tuntuan
pemenuhan kebutuhan hidup manusia telah membuat manusia berfikir praktis.
Pemikitan praktis ini muncul karena manusia dengan logikanya yang berkembang
telah berhasil menciptakan berbagai media untuk mengatasi kesulitan yang
ditimbulkan oleh suatu fenomena alam. Kehidupan manusia yang makin mengglobal
juga menyebabkan manusia berfikir praktis. Pertukaran informasi dan teknologi
telah sangat bebasnya sehingga kehidupan manusia dirasakaan semakin mudah.
Pola
piker praktis yang berdampak pada marginalisasi peran budaya lama juga terjadi
di Bali. Salah satunya adalah marginilisasi peran wariga dalam kehidupan masyarakat Bali. Suatu contoh yang paling
mudah diamati adalah hari pasar. Pada masa lalu pasar di Bali tidak buka setiap
hari diseluruh wiyalah di Bali. Karena berdasarkan perhitunhan wariga ada hari yang tidak baik untuk
berjualan disuatu wilayah tertentu. Namun pada saat ini pasar selalu buka
setiap hari hamper diseluruh wilayah di Bali. Perhitungan wariga hanya digunakan pada kegiatan yang berkaitan dengan upacara
keagamaan. Penggunaan wariga masih
dirasakan cukup kuat adalah pada masyarakat agratis yang ada di Bali.
Kader
Pelestarian Budaya Provinsi Bali sebagai organisasi yang bergerak di bidang
pendidikan pelestarian budaya mencoba untuk mempelajari upaya – upaya yang
dapat ditempuh untuk mengendalikan marginilisasi wariga ini. Karena itu pada pelaksanaan Kemah “ Pengendalian
Marginalisasi Warga sebagai Upaya Peningkatan Ketahanan Budaya Masyarakat Bali”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar