Senin, 22 Oktober 2012

Kata Pengantar Kader Pelestarian Budaya


Sistem religi manusia diawali oleh konsep sederhana yaitu baik dan buruk. Manusia mendikotomikan berbagai hal menjadi dua hal yaitu baik dan buruk. Salah satu krusial adalah penetapan waktu. Penetapan waktu bila dibandingkan konsep tersebut maka waktu baik adalah pada saat kondisi terang dan waktu buruk adalah pada saat gelap. Baik dalam arti waktu tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia seperti mencari nafkah, memperbaiki rumah, bertani beternak dan kegiatan lainnya yang menghasilkan. Buruk artinya adalah pada saat tersebut manusia harus beristirahat, karena bila berakivitas akan menimbulkan hal yang tak baik

                Sistem religi manusia berkembang seiring dengan permahamannya terhadap fenomena alam yang terjadi disekitarnya. Fenomena – fenomena ala mini selanjutnya dimaknai sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di alam semesta. Beranjak dari kondisi inilah manusia menata dirinya. Penataan diri yang dimaksud adalah penyesuaian seluruh aspek kehidupan manusia dengan fenomena – fenomena alam yang membentuk suatu pola tertentu.
                Pola penataan diri manusia yang menyesuaikan antara kehidupannya dengan fenomena alam ini selanjutnya dibakukan menjadi suatu bentuk tuntuan hidup manusia. Bentuk tuntutan hidup yang pertama kali memadukan antara kehidupan manusia dengan fenomena alam adalah sistem penanggalan. Sistem penanggalan pada kebudayaan – kebudayaan kuna umumnya  menyebutkan tentang hari baik dan hari buruk. Artinya dalam satu masa tertentu ada hal yang boleh dilakukan dan ada hal yang tidak boleh dilakukan. Jadi pada sistem penanggalan kuna sebenarnya tidak ada hari baik atau buruk. Penyebutan hari buruk tersebut adalah esensi dari keinginan manusia untuk melalukan sesuatu kegiatan dari hari yang diinginkan namun tidak didukung oleh fenomena alam yang akan membantu kesuksesan pencapaian keinginan tersebut.
                Sistem  penanggalan kuna seperti yang dimaksud di atas juga ditemukan di Bali. Sistem penanggalan yang dimaksud adalah wariga. Penerapan wariga di Bali sangat luat hingga mencapai seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari proses reproduksi, kelahiran, kehidupan, pernikahan hingga kematian. Berbagai aktivitas keseharian hingga upacara keagamaan dilaksanakan berdasarkan perhitungan wariga
                Perkembangan kehidupan manusia yang semakin mengedepankan aspek logika dan besarnya tuntuan pemenuhan kebutuhan hidup manusia telah membuat manusia berfikir praktis. Pemikitan praktis ini muncul karena manusia dengan logikanya yang berkembang telah berhasil menciptakan berbagai media untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh suatu fenomena alam. Kehidupan manusia yang makin mengglobal juga menyebabkan manusia berfikir praktis. Pertukaran informasi dan teknologi telah sangat bebasnya sehingga kehidupan manusia dirasakaan semakin mudah.
                Pola piker praktis yang berdampak pada marginalisasi peran budaya lama juga terjadi di Bali. Salah satunya adalah marginilisasi peran wariga dalam kehidupan masyarakat Bali. Suatu contoh yang paling mudah diamati adalah hari pasar. Pada masa lalu pasar di Bali tidak buka setiap hari diseluruh wiyalah di Bali. Karena berdasarkan perhitunhan wariga ada hari yang tidak baik untuk berjualan disuatu wilayah tertentu. Namun pada saat ini pasar selalu buka setiap hari hamper diseluruh wilayah di Bali. Perhitungan wariga hanya digunakan pada kegiatan yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Penggunaan wariga masih dirasakan cukup kuat adalah pada masyarakat agratis yang ada di Bali.
                Kader Pelestarian Budaya Provinsi Bali sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan pelestarian budaya mencoba untuk mempelajari upaya – upaya yang dapat ditempuh untuk mengendalikan marginilisasi wariga ini. Karena itu pada pelaksanaan Kemah “ Pengendalian Marginalisasi Warga sebagai Upaya Peningkatan Ketahanan Budaya Masyarakat Bali”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar